Kamis, 13 Oktober 2011

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan ekosistem Terumbu Karang (Coral Reef)

Ekosistem terumbu karang dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan karang.

SUHU

Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C.


SALINITAS

Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi

lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %.


CAHAYA DAN KEDALAMAN

Kedua faktor tersebut berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.



Kombinasi faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu Karang (coral reef)
Gambar 1. Kombinasi faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu Karang






KECERAHAN

Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.


PAPARAN UDARA (aerial exposure)

Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya.


GELOMBANG

Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.


ARUS

Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.
Pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu.

Berdasarkan fungsinya dalam pembentukan terumbu (hermatype-ahermatype) dan ada/tidaknya alga simbion (symbiotic-asymbiotic), maka karang terbagi menjadi empat kelompok berikut: (Gambar 2)

  1. Hermatypes-symbionts.
    Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangun terumbu yaitu sebagian besar anggota Scleractinia (karang batu), Octocorallia (karang lunak) dan Hydrocorallia.
  2. Hermatypes-asymbionts.
    Kelompok ini merupakan karang dengan pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan zooxanthellae, sehingga mereka mampu untuk hidup di dalam perairan yang tidak ada cahaya.· Di antara anggotanya adalah Scleractinia asimbiotik dengan genus Tubastrea dan Dendrophyllia, dan hydro-corals jenis Stylaster rosacea.
  3. Ahermatypes-symbionts
    Anggota kelompok ini antara lain dari genus Heteropsammia dan Diaseris (Scleractinia: Fungiidae) dan Leptoseris (Agaricidae) yang hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. Kelompok ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea dan Gorgonacea yang mempunyai alga simbion namun bukan pembangun kerangka kapur masif (matriks terumbu).
  4. Ahermatypes-asymbionts
    Anggota kelompok ini antara lain terdiri dari genus Dendrophyllia dan Tubastrea (Ordo Scleractinia) yang mempunyai polip yang kecil. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah kerabat karang batu dari Ordo Antipatharia dan Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.



Karang dalam sistem Filum Coelenterata; karang hermatypic pembangun terumbu berada dalam garis terputus-putus
Gambar 2. Karang dalam sistem Filum Coelenterata; karang hermatypic pembangun terumbu berada dalam garis terputus-putus





Karang hermatipik, yang umumnya didominasi oleh Ordo Scleractinia, memiliki alga simbion atau zooxanthellae yang hidup di lapisan gastrodermis.· Di lapisan ini, zooxanthellae sangat berperan membantu pemenuhan kebutuhan nutrisi dan oksigen bagi hewan karang melalui proses fotosintesis (gambar 3).· Zooxanthellae merupakan istilah umum bagi alga simbion dari kelompok dinoflagellata yang hidup di dalam jaringan hewan lain, termasuk karang, anemon, moluska, dan taksa hewan yang lain.·

Hubungan yang erat (simbiosis) antara hewan karang dan zooxanthellae dapat dikategorikan sebagai simbiosis mutualisme, karena hewan karang menyediakan tempat berlindung bagi zooxanthellae dan memasok secara rutin kebutuhan bahan-bahan anorganik yang diperlukan untuk fotosintesis, sedangkan hewan karang diuntungkan dengan tersedianya oksigen dan bahan-bahan organik dari zooxanthellae.


Peran alga simbion (zooxanthellae) dalam menyokong pertumbuhan karang
Gambar 3. Peran alga simbion (zooxanthellae) dalam menyokong pertumbuhan karang.





Koloni karang baru akan berkembang, jika polip karang melakukan perkembangbiakan secara aseksual, budding dan fragmentation (gambar 4). Melalui proses budding, koloni karang berkembang melalui dua cara yaitu intratentacular budding dan extratentacular budding. Intratentacular budding terjadi apabila pertambahan polip berasal dari satu polip yang terbelah menjadi dua, sedangkan extratentacular budding terjadi jika tumbuh satu mulut polip bertentakel pada ruang kosong antara polip satu dan polip lain. Selain itu, koloni baru dapat berkembang dari patahan karang yang terpisah dari koloni induk akibat gelombang atau aksi fisik lain, bila patahan tersebut melekatkan diri pada substrat keras dan tumbuh melalui mekanisme budding.


Mekanisme pembentukan koloni karang melalui proses budding
Gambar 4. Mekanisme pembentukan koloni karang melalui proses budding





Perkembangan terumbu karang secara umum dikendalikan oleh sejumlah faktor utama yang bekerja dalam skala ruang yang bersifat makro (global), meso (regional), dan mikro (pulau). Ketiga faktor kendali utama tersebut terdiri atas faktor-faktor lingkungan yang dijabarkan sebagai berikut:

  1. Kendali skala makro
    1. Gaya tektonik
    2. Paras muka laut

  2. Kendali skala meso
    1. Suhu
    2. Salinitas
    3. Energi gelombang

  3. Kendali skala mikro
    1. Cahaya
    2. Nutrien
    3. Sedimen
    4. Topografi masa lampau



Interaksi yang terjadi di dalam ekosistem terumbu karang

Terumbu karang bukan merupakan sistem yang statis dan sederhana, melainkan suatu ekosistem yang dinamis dan kompleks. Tingginya produktivitas primer di ekosistem terumbu karang, bisa mencapai 5000 g C/m2/tahun, memicu produktivitas sekunder yang tinggi, yang berarti komunitas makhluk hidup yang ada di dalamnya sangat beraneka ragam dan tersedia dalam jumlah yang melimpah. Berbagai jenis makhluk hidup yang ada di ekosistem terumbu karang saling berinteraksi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, membentuk suatu sistem kehidupan. Sistem kehidupan di terumbu karang dapat bertambah atau berkurang dimensinya akibat interaksi kompleks antara berbagai kekuatan biologis dan fisik.

Secara umum interaksi yang terjadi di ekosistem terumbu karang terbagi atas interaksi yang sifatnya sederhana, hanya melibatkan dua jenis biota (dari spesies yang sama atau berbeda), dan interaksi yang bersifat kompleks karena melibatkan biota dari berbagai spesies dan tingkatan trofik. Berikut ini disajikan berbagai macam interaksi yang bersifat sederhana, yang dapat berupa persaingan (kompetisi), pemangsaan oleh predator, grazing, komensalisme dan mutualisme, beserta contohnya di ekosistem terumbu karang.


INTERAKSISE DERHANA

PERSAINGAN

Persaingan memperoleh ruang
  • Karang batu vs Karang lunak
  • Koloni karang batu vs Koloni bulu babi
  • Persaingan memperoleh makanan



PEMANGSAAN

Pemangsaan karang oleh predatornya (Acanthaster planci, Chaetodontidae, Tetraodontidae).


GRAZING

Pengendalian/pengaturan invasi ruang alga melalui konsumsi ikan herbivor (Acanthuridae, Scaridae).


KOMENSALISME

Hubungan yang erat antara ikan pembersih dengan inangnya.


MUTUALISME

Hubungan yang erat antara karang batu dengan zooxanthellae, anemon dengan ikan giru (Amphiprion atau Premnas), ikan Pomacentridae dengan koloni karang batu, dan lain-lain.



INTERAKSI KOMPLEKS

Mekanisme lain untuk mengkaji interaksi antar biota yang hidup di ekosistem terumbu karang adalah melalui jejaring makanan (gambar 5). Dibandingkan interaksi antar biota yang ada dalam persaingan, predasi, simbiosis mutualisme, dan simbiosis komensalisme, maka interaksi yang terjadi dalam sistem jejaring makanan di ekosistem terumbu karang merupakan interaksi yang kompleks.


Jejaring makanan di ekosistem terumbu karang
Gambar 5. Jejaring makanan di ekosistem terumbu karang.





Secara garis besar tingkat trofik dalam jejaring makanan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok produsen yang bersifat autotrof karena dapat memanfaatkan energi matahari untuk mengubah bahan-bahan anorganik menjadi karbohidrat dan oksigen yang diperlukan seluruh makhluk hidup, dan kelompok konsumen yang tidak dapat mengasimilasi bahan makanan dan oksigen secara mandiri (heterotrof).

PRODUSEN Karang batu (zooxanthellae), alga makro, alga koralin, bakteri fotosintetik

KONSUMEN Karang batu (polip), Ikan, Ekhinodermata, Annelida, Polikhaeta, Krustasea, Holothuroidea, Moluska, dll.

Karang batu dapat berperan ganda, sebagai produsen dan konsumen. Hal ini dimungkinkan oleh adanya endosimbiosis dengan zooxanthellae, yang di hari terang melakukan proses fotosintesis, sedangkan di hari gelap karang batu memiliki tentakel-tentakel bersengat (nematocyst) yang dapat dijulurkan untuk memangsa zooplankton dan hewan-hewan renik lainnya.



Source : http://web.ipb.ac.id
Dikirim oleh Admin
Tanggal 2008-12-16
Jam 20:33:18




Baca Juga Artikel Tentang Perikanan dan Science, Lingkungan, Ekosistem, Terumbu Karang, Coral Reef, Laut, Ikan Lainnya :

Rabu, 12 Oktober 2011

Ekologi


 

MMPI 5101
EKOLOGI

Suyud Warno Utomo
Reda Rizal

3 sks / modul 1-9: ill.; 21 cm / Edisi 1
ISBN : 9796898322
DDC : 577
Copyright (BMP) © Jakarta: Universitas Terbuka, 2006 Modul ekologi berisi tentang pengetahuan yang membahas konsep dasar ekologi. Ruang lingkup, ekosistem, siklus biogeokimiawi, faktor pembatas, populasi dan komunitas, perkembangan ekosistem, keanekaragaman, dan pencemaran. Konsep ekologi tersebut diberikan dengan beberapa contoh penerapannya pada berbagai ekosistem, terutama ekosistem pesisir dan laut, serta kajian yang terkait dengan ekologi dan ekosistem dalam perkembangan perikana di Indonesia.

Tinjauan Mata Kuliah
Mata kuliah Ekologi ini memberikan dasar-dasar pengetahuan tentang ekologi yang memuat bahasan tentang sejarah dan ruang lingkup ekologi, konsep ekosistem, energi dalam ekosistem, siklus biogeokimiawi, faktor-faktor pembatas, konsep organisasi komunitas, populasi, individu, suksesi, dan keanekaragaman hayati, dampak lingkungan dan pencemaran, serta pengelolaan lingkungan. Untuk lebih berhasil guna dalam mempelajari dan menguasai materi kuliah ini disarankan Anda membaca buku rujukan atau referensi yang terdapat pada daftar pustaka di setiap akhir modul buku ini.
Setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu:
  1. menjelaskan berbagai prinsip dan konsep ekologi;
  2. menerapkan berbagai prinsip dan konsep ekologi dalam setiap kegiatan.
Mata kuliah Ekologi terdiri dari 9 modul dan susunan judul-judulnya sebagai berikut.
  • Modul 1: Sejarah, Ruang Lingkup Ekologi dan Ekosistem.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Sejarah dan ruang Lingkup Ekologi, (2) Ekosistem, (3) Aliran Energi dan Daur Materi, dan (4) Rantai Makanan dan Produktivitas
  • Modul 2: Siklus Biogeokimiawi.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Pola dan Tipe Dasar Siklus Biogeokimiawi, (2) Siklus Hidrologi dan Karbondioksida, (3) Siklus Hara, dan (4) Budget Hara.
  • Modul 3: Faktor Pembatas Ekologi.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Hukum Minimum Leibig dan Hukum Toleransi, (2) Faktor Fisik Pembatas dalam Ekosistem, (3) Faktor Kimiawi dan Nonfisik Ekosistem, dan (4) Tipologi Ekosistem dan Indikator Ekologi.
  • Modul 4; Sifat Parameter dan Pertumbuhan Populasi.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Parameter Populasi, (2) Pertumbuhan Populasi, (3) Daya Dukung Lingkungan, dan (4) Penyebaran Individu, Isolasi, Terisolasi, dan Daerah Jelajah
  • Modul 5: Perkembangan Ekosistem.
    Modul ini terdiri atas 3 kegiatan belajar, yaitu (1) Perkembangan Ekosistem, (2) Bioenergetic Perkembangan, dan (3) Konsep Klimaks, Suksesi, dan Implikasinya
  • Modul 6; Ekosistem Pesisir Alami.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Ekosistem Hutan Mangrove, (2) Terumbu Karang, (3) Padang Lamun, dan (4) Muara dan Pantai
  • Modul 7: Keanekaragaman Hayati.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Keanekaragaman Ekosistem, (2) Keanekaragaman Spesies, (3) Keanekaragaman Genetik, dan (4) Indeks Keanekaragaman Hayati.
  • Modul 8: Dampak Lingkungan dan Pencemaran.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Pencemaran Ekosistem Laut, (2) Pencemaran Udara, (3) Pencemaran Air, dan (4) Pencemaran Tanah.
  • Modul 9: Pengelolaan Lingkungan.
    Modul ini terdiri atas 4 kegiatan belajar, yaitu (1) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir, (2) Pengelolaan Dampak Pencemaran pada Air, (3) Pengelolaan Dampak Pencemaran pada Udara, dan (4) Pengelolaan Dampak Pencemaran pada Tanah.


 

MODUL 1
Sejarah, Ruang Lingkup Ekologi, dan Ekosistem
Kegiatan Belajar 1: Sejarah dan Ruang Lingkup Ekologi
Rangkuman

Istilah ekologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu Oikos dan Logos. Istilah ini mula-mula diperkenalkan oleh Ernst Haeckel pada tahun 1869, tetapi jauh sebelumnya studi dalam bidang-bidang yang sekarang termasuk dalam ruang lingkup ekologi telah dilakukan oleh banyak pakar.
Ekologi merupakan cabang dari ilmu biologi dan merupakan bagian dasar dari ilmu biologi. Ruang lingkup ekologi meliputi populasi, komunitas, ekosistem dan biosfer. Studi ekologi kita kelompokkan menjadi 2, yaitu autekologi dan sinekologi.
Ekologi berkembang bersamaan dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang tingkat perkembangannya tidak lepas dari perkembangan ilmu yang lain, misalnya perkembangan ilmu komputer yang sangat membantu perkembangan ilmu ekologi dalam menelusuri segala aspeknya secara lebih mendalam. Penggunaan model-model matematika dalam ekologi menunjukkan bahwa ekologi tidak lepas dari perkembangan matematika dan ilmu komputer.
Kegiatan Belajar 2: Ekosistem
Rangkuman

Ekosistem merupakan satuan fungsional dasar yang menyangkut proses interaksi organisme hidup dengan lingkungan mereka. Istilah tersebut pada mulanya diperkenalkan oleh A.G. Tansley pada tahun 1935. Sebelumnya telah digunakan istilah-istilah lain, yaitu biocoenosis, dan mikrokosmos.
Setiap ekosistem memiliki enam komponen, yaitu produsen, makrokonsumen, mikrokonsumen, bahan anorganik, bahan organik, dan kisaran iklim. Perbedaan antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya hanya pada unsur-unsur penyusun masing-masing komponen tersebut. Masing-masing komponen ekosistem mempunyai peranan dan mereka saling terkait dalam melaksanakan proses-proses dalam ekosistem. Proses-proses dalam ekosistem meliputi aliran energi, rantai makanan, pola keanekaragaman, siklus materi, perkembangan, dan pengendalian.
Daerah Aliran Sungai (DAS) dari suatu badan air, akan menentukan stabilitas dan proses metabolisme yang berlangsung di dalam badan air tersebut. Pengelolaan badan air harus menyertakan pengelolaan daerah aliran sungainya.
Setiap ekosistem mampu mengendalikan dirinya sendiri, dan mampu menangkal setiap gangguan terhadapnya, kemampuan ini disebut Homeostasis, tetapi kemampuan ini ada batasnya. Bilamana batas kemampuan tersebut dilampaui, ekosistem akan mengalami gangguan. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu bentuk gangguan ekosistem akibat terlampauinya kemampuan homeostatis.
Kegiatan Belajar 3: Aliran Energi dan Daur Materi
Rangkuman

Dikenal adanya dua hukum termodinamika, yaitu 1) energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, dan energi dapat berubah bentuk, 2) perubahan bentuk penggunaan energi tidak pernah terjadi secara 100% efisien.
Aliran energi dalam alam semesta atau ekosistem tunduk kepada hukum-hukum termodinamika tersebut. Dengan proses fotosintesis energi cahaya matahari ditangkap oleh tumbuhan, dan diubah menjadi energi kimia atau makanan yang disimpan di dalam tubuh tumbuhan.
Proses aliran energi berlangsung melalui proses rantai makanan. Tumbuhan dimakan oleh herbivora. Dengan demikian, energi makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke tubuh herbivora masuk ke tubuh karnivora.
Di alam, rantai makanan tidak sederhana, tetapi ada banyak, satu dengan yang lain saling terkait atau berhubungan sehingga membentuk jaring-jaring makanan. Organisme-organisme yang memperoleh energi makanan dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama dimasukkan ke dalam aras tropik yang sama. Makin tinggi aras tropiknya maka makin tinggi pula efisiensi ekologinya.
Kegiatan Belajar 4: Rantai Makanan dan Produktivitas
Rangkuman

Di dalam suatu ekosistem alami bentuk rantai makanan tidaklah sederhana, di mana terdapat banyak simpul rantai makanan yang satu dengan yang lainnya saling terkait atau berhubungan sehingga membentuk jaring-jaring makanan.
Organisme yang memperoleh energi melalui makanan dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama dapat dimasukkan ke dalam aras tropik yang sama. Semakin tinggi posisi organisme pada aras tropiknya maka semakin tinggi pula efisiensi ekologinya.
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh produsen. Produktivitas primer dibedakan atas produktivitas primer kasar (bruto) yang merupakan hasil asimilasi total, dan produktivitas primer bersih (neto) yang merupakan penyimpanan energi di dalam jaringan tubuh tumbuhan. Produktivitas primer bersih ini juga adalah produktivitas kasar dikurangi dengan energi yang digunakan untuk respirasi.
Produktivitas sekunder merupakan laju penambatan energi yang dilakukan oleh konsumen. Pada produktivitas sekunder tidak dibedakan atas produktivitas kasar dan bersih. Produktivitas sekunder pada dasarnya adalah asimilasi pada aras atau tingkatan konsumen.
Laju produktivitas akan tinggi bila mana faktor-faktor lingkungan cocok atau optimal. Pemberian bantuan energi dari luar atau subsidi energi dapat meningkatkan produktivitas. Subsidi energi banyak dilakukan oleh manusia terhadap ekosistem pertanian yang berupa: pemberian pupuk, irigasi, pengendalian hama dan pengolahan tanah. Subsidi energi juga dapat terjadi secara alami, hujan di daratan, angin, dan lain-lain.
Produktivitas atau produksi berbeda dengan hasil panen. Produksi pada pertanian sebetulnya adalah panen. Hasil panen adalah hasil bagian dari produktivitas primer bersih yang diambil atau dimanfaatkan oleh manusia. Pada dasarnya alam akan memaksimalkan produktivitas bersih sehingga manusia dapat memaksimalkan hasil panen. Manusia juga memerlukan produktivitas sekunder. Dengan produktivitas sekunder, manusia dapat memperoleh hasil panen berupa; daging, telur, atau susu.
Pengukuran produktivitas primer pada umumnya didasarkan pada reaksi fotosintesis. Beberapa metode pengukuran produktivitas primer adalah metode panen yang cocok untuk ekosistem pertanian, pengukuran oksigen, misalnya dengan botol gelap dan botol terang untuk ekosistem perairan; metode pH cocok untuk ekosistem perairan; metode klorofil untuk mengukur kadar klorofil, metode radioaktif, dan metode CO2.
Daftar Pustaka
  • Begon, M., J.L. Harper & C.R. Townsend. (1986). Ecology. Individuals, Populations and Communities. Blackwell Sci. Pub. Oxford.
  • Boughey, A. S., (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. McMillan Publishing Co., Inc. New York.
  • Cole, L. C., (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven Yale University Press.
  • Chang, J.H., (1968). Climate and Agriculture: An Ecological Survey. Chicago. Aldine Publishing Co.
  • Dasmann, R. F., (1968). Environmental Conservation. 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • DeSimone and Popoff. (2000). Ecoefficiency, The Business Link to Suistainable Development. Cambridge: The MIT Press Cambridge.
  • Hardjojo, dkk. (1996). Pengetahuan Dasar Ilmu Lingkungan. Jakarta: Universitas Terbuka.
  • Kantor MNLH, (1998). Dasar Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Basional Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice Hall Inc.
  • Odum, E.P. (1968). Energy Flow in Ecosystems: A Historical Review. W.B. Saunders Co. Philadelphia.
  • Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co.
  • Miller, D. H., (1965). The Heat and Water Budget of the Earth's Surface. Adv. in Geophysics, 11, 175-302.
  • Smith, R.L. (1974). Ecology and Field Biology, 2nd ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Suyud dan Subagja, (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.


MODUL 2
Siklus Biogeokimiawi
Kegiatan Belajar 1 Pola dan Tipe Dasar Siklus Biogeokimiawi
Rangkuman

Pada dasarnya unsur kimia di alam akan mengalami sirkulasi, yaitu dari bentuk yang berada di dalam lingkungan (anasir abiotik) menuju ke dalam bentuk yang berada di dalam organisme (anasir biotik), kemudian kembali lagi ke lingkungan. Proses ini disebut sebagai siklus atau daur ulang biogeokimiawi atau siklus materi.
Secara struktural setiap siklus materi terdiri atas bagian cadangan dan bagian yang mengalami pertukaran. Di dalam bagian cadangan unsur kimia tersebut akan terikat dan sulit bergerak atau pergerakannya lamban. Di dalam bagian pertukaran unsur kimia tersebut aktif bergerak atau mengalami pertukaran. Siklus materi dibedakan atas dua tipe, yaitu tipe gas dan tipe sedimenter. Siklus nitrogen merupakan salah satu siklus materi tipe gas, di mana cadangan terbesar terdapat di atmosfer. Sedangkan siklus posfor merupakan siklus materi tipe sedimenter. Bagian cadangan siklus posfor terdapat di dalam tanah atau kerak bumi dan sukar larut sehingga siklus ini mudah terganggu.
Pada siklus nitrogen, posfor, maupun belerang, peranan berbagai organisme adalah sangat penting untuk dapat berlangsungnya siklus tersebut, misalnya siklus penambat nitrogen bebas. Pengetahuan mengenai peranan organisme dalam siklus materi dimanfaatkan manusia, misalnya dalam bidang pertanian dan peternakan.
Siklus materi yang satu dengan yang lain dapat saling terkait atau mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat pada siklus belerang. Aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi siklus materi, sebagai contoh adalah kegiatan pabrik dan mesin-mesin kendaraan bermotor dapat meningkatkan kandungan senyawa-senyawa oksidasi belerang dan oksida nitrogen di udara.
Kegiatan Belajar 2: Siklus Hidrologi dan Karbondioksida
Rangkuman

Daur ulang karbondioksida mempunyai arti yang penting bagi manusia, dan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Siklus ini merupakan siklus materi tipe gas, di mana pergerakan karbondioksida di udara sangat cepat, serta mempunyai dampak global. Meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil terutama yang dilakukan dalam industri (pabrik-pabrik) dan yang terjadi pada kegiatan transportasi (kendaraan bermotor) akan meningkatkan pelepasan CO2 ke atmosfer. Kegiatan agroindustri ternyata tidak mampu mengabsorbsi kembali CO2 yang dilepas ke atmosfer, sebab kegiatan pengelolaan tanah juga melepas CO2 ke atmosfer.
Seperti halnya siklus karbondioksida, siklus hidrologi juga merupakan siklus tipe gas, dan mendapat perhatian yang besar karena mempunyai arti yang penting bagi manusia.
Hujan merupakan faktor pendorong utama siklus hidrologi (air). Di atmosfer, bentuk air dapat berupa uap air, awan, atau butiran es. Hujan yang turun sebagian besar akan masuk ke laut dan sebagian lagi masuk ke darat. Air yang masuk ke darat dapat ditangkap oleh tumbuhan dan tanah. Air yang dapat ditangkap oleh tanah berupa air tanah. Air tanah inilah yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, misalnya berupa mata air, sungai, dan danau. Kembalinya air ke atmosfer melalui penguapan dari laut, dan evapotranspirasi dari daratan. Penguapan yang terbesar adalah dari laut.
Kegiatan Belajar 3: Siklus Hara
Rangkuman

Ada perbedaan yang cukup penting antara siklus materi di daerah iklim sedang dengan yang ada di daerah tropis. Di daerah tropis, serasah atau bangkai cepat diuraikan oleh organisme pengurai sehingga lantai hutan tropika hanya mempunyai lapisan serasah yang sangat tipis. Unsur hara yang dibebaskan segera dimanfaatkan oleh tumbuhan. Hal ini terjadi karena suhu yang hangat dan lembab yang merupakan kondisi yang optimum bagi metabolisme organisme. Di daerah iklim sedang, suhu lebih dingin metabolisme terhenti sehingga serasah pada lantai hutan tebal dan sebagian unsur hara akan berada dalam tanah. Perbedaan ini perlu mendapatkan perhatian sehingga pengelolaan ekosistem di daerah tropis tidak sekadar meniru dari negara-negara iklim sedang.
Kegiatan Belajar 4: Budget Hara
Rangkuman

Analisis kuantitatif unsur hara atau biokimiawi mempunyai arti yang penting dalam menganalisis fenomena alam atau ekosistem. Dengan studi semacam itu maka dapat diketahui anggaran atau tersedianya unsur hara di dalam suatu ekosistem.
Dengan mempelajari budget hara kita dapat memperhitungkan atau memprediksi peristiwa dan fenomena alam yang akan terjadi, seperti perubahan iklim, perubahan ekosistem, dan habitat.
Daftar Pustaka
  • Begon, M., J.L. Harper & C.R. Townsend. (1986). Ecology. Individuals, Populations and Communities. Oxford: Blackwell Sci. Pub.
  • Blackman, F. F. (1985). Optima and Limiting Factors, Annals of Botany. London: Oxford University Press.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York : The Macmillan Company.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co., Inc.
  • Clarke, G. L. (1965). Elements of Ecology. Published by John Wiley & Sons, Inc.
  • Cole, L. C., (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven: Yale University Press.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation. 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • DeSimone and Popoff. (2000). Ecoefficiency, The Business Link to Sustainable Development. The MIT Press Cambridge.
  • Hardjojo, (1996). Pengetahuan Dasar Ilmu Lingkungan. Universitas Terbuka.
  • Kantor MNLH, (1998). Dasar Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan, dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • Miller, D. H. (1985). The Heat and Water Budget of the Earth's Surface. Adv. in Geophysics, 11, 175-302.
  • Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co.
  • Smith, R.L. (1974). Ecology and Field Biology. 2nd ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Suyud dan Subagja, (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Whittaker, R. H. (1970). Communities and Ecosystems. New York: Macmillan Company.


MODUL 3
Faktor Pembatas Ekologi
Kegiatan Belajar 1: Hukum Minimum Leibig dan Hukum Toleransi
Rangkuman

Hukum Leibig menyebutkan bahwa "sesuatu organisme tidak lebih kuat dari pada rangkaian terlemah dari rantai kebutuhan ekologinya". Hukum Leibig adalah hukum atau ketentuan fenomena alam pada ekosistem tertentu yang menyatakan bahwa organisme tertentu hanya dapat bertahan hidup pada kondisi faktor tertentu dalam keadaan minimum.
Hukum Toleransi Shelford menyatakan bahwa organisme tertentu dapat bertahan hidup tidak hanya ditentukan oleh faktor pembatas minimum saja, tetapi juga ditentukan oleh faktor pembatas maksimum.
Dengan mengetahui batas toleransi suatu organisme maka hal ini dapat membantu memahami pola dan penyebaran organisme pada ekosistem tertentu.
Untuk menyatakan batas toleransi suatu organisme sering dipakai istilah yang umum, yaitu berawalan steno yang berarti sempit dan eury yang berarti lebar/luas.
Untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dan dengan keadaan tertentu. Apabila keperluan mendasar ini hanya tersedia dalam jumlah yang paling minimum maka akan bertindak sebagai faktor pembatas. Walaupun demikian, seandainya keperluan mendasar yang hanya tersedia minimum berada dalam waktu "sementara" tidak dapat dianggap sebagai faktor minimum karena pengaruhnya dari banyak bahan sangat cepat berubah.
Ternyata kondisi minimum dari suatu kebutuhan mendasar bukan merupakan satu-satunya faktor pembatas kehidupan suatu organisme, tetapi juga dalam keadaan terlalu maksimumnya kebutuhan tadi sehingga dengan kisaran minimum-maksimum ini dianggap sebagai batas-batas toleransi organisme untuk dapat hidup. Namun, dalam kenyataan tidak sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk "relatif" mengubah keadaan lingkungan fisik guna mengurangi efek hambatan terhadap pengaruh lingkungan fisiknya.
Kegiatan Belajar 2: Faktor Fisik sebagai Pembatas dalam Ekosistem
Rangkuman

Dengan mengetahui faktor pembatas (limiting factor) suatu organisme dalam suatu ekosistem maka dapat diantisipasi kondisi-kondisi di mana organisme tidak dapat bertahan hidup.
Umumnya suatu organisme yang mempunyai kemampuan untuk melewati atau melampaui faktor pembatasnya maka ia memiliki toleransi yang besar dan kisaran geografi penyebaran yang luas pula. Sebaliknya jika organisme tersebut tidak mampu melewatinya maka ia memiliki toleransi yang sempit dan memiliki kisaran geografi penyebaran yang sempit pula.
Tidak sedikit didapati pula bahwa ada organisme tertentu yang tidak hanya beradaptasi dengan faktor pembatas lingkungan fisik saja, tetapi mereka bisa memanfaatkan periodisitas alami untuk mengatur dan memprogram kehidupannya guna mengambil keuntungan dari keadaan tersebut.
Faktor pembatas fisik bagi suatu organisme kita kenal secara luas di antaranya faktor cahaya matahari, suhu, ketersediaan sejumlah air, gabungan antara faktor suhu dan kelembaban, dan lain sebagainya.
Kegiatan Belajar 3: Faktor Kimiawi dan Nonfisik Ekosistem
Rangkuman

Faktor pembatas nonfisik adalah unsur-unsur nonfisik seperti zat kimia yang terdapat dalam lingkungan akan menjadi faktor pembatas bagi organisme-organisme untuk dapat hidup dan berinteraksi satu sama lainnya.
Kondisi lingkungan perairan (aquatic) berbeda dengan kondisi lingkungan daratan (terrestrial), terutama ditinjau dari keberadaan unsur kimiawi seperti; O2, CO2, dan gas-gas terlarut lainnya yang dapat diperoleh organisme di lingkungannya.
Garam biogenik adalah garam-garam yang terlarut dalam air, seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), sulfur (S), posfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Zat kimia ini merupakan unsur vital bagi keberlanjutan organisme tertentu.
Tanah terdiri atas bahan induk, bahan organik, dan mineral yang hasil pencampurannya dapat membentuk tekstur tanah tertentu. Ruang-ruang antara hasil pencampuran bahan-bahan tadi diisi oleh gas dan air. Kondisi tekstur dan kemampuan tanah inilah yang akan menentukan ketersediaan unsur hara bagi tumbuhan dan hewan di atasnya.
Tumbuhan perdu yang mempunyai daun lebar lebih tahan terhadap keterbatasan sinar matahari, sedangkan tumbuhan rerumputan sangat membutuhkan sinar matahari. Lebar atau kecil daun berpengaruh langsung terhadap kemampuan tumbuhan untuk melakukan kegiatan fotosintesis dan penguapan (transpirasi). Semakin lebar daun semakin tinggi kemampuan fotosintesis dan semakin besar pula penguapan.
Faktor cahaya, temperatur, dan kadar garam dalam ekosistem perairan akan berinteraksi bersama menjadi faktor pembatas utama terhadap keberadaan organisme. Hal ini dapat dilihat jelas pada perbedaan jenis organisme yang biasa didapati di dekat muara sungai dengan yang terdapat di lepas pantai atau laut dalam.
Kegiatan Belajar 4: Tipologi Ekosistem dan Indikator Ekologi
Rangkuman

Kehadiran atau keberhasilan suatu organisme atau kelompok organisme-organisme tergantung kepada kompleksitas suatu keadaan. Keadaan yang mana pun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi atau faktor pembatas. Dengan adanya faktor pembatas ini semakin jelas kemungkinannya apakah suatu organisme akan mampu bertahan dan hidup pada suatu kondisi wilayah tertentu.
Jika suatu organisme mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan dalam jumlah yang cukup maka faktor tadi bukan merupakan faktor pembatas. Sebaliknya apabila organisme diketahui hanya mempunyai batas-batas toleransi tertentu untuk suatu faktor yang beragam maka faktor tadi dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas. Beberapa keadaan faktor pembatas, termasuk di antaranya adalah temperatur, cahaya, air, gas atmosfer, mineral, arus, dan tekanan, tanah, dan api. Masing-masing dari organisme mempunyai kisaran kepekaan berbeda terhadap faktor pembatas.
Dengan adanya faktor pembatas, dapat dianggap faktor ini bertindak sebagai ikut menyeleksi organisme yang mampu bertahan dan hidup pada suatu wilayah sehingga sering kali didapati adanya organisme-organisme tertentu yang mendiami suatu wilayah tertentu pula. Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator ekologi) pada wilayah tersebut.
Daftar Pustaka
  • Blackman, F. F. (1985). Optima and Limiting Factors, Annals of Botany. London: Oxford University Press.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • Campbell, N.A. (1987). Biology, California: The Benjamin Cummings Publishing Company, Inc.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co., Inc.
  • Cole, L. C. (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven: Yale University Press.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation, 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Ditjen Dikti Depdiknas. (1998) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir. Buku Panduan Pelatihan Untuk Pelatih Pengelola Wilayah Pesisir.
  • Djajadiningrat, Surna T. (2001). Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Bandung: Penerbit Studio Tekno Ekonomi ITB.
  • Heddy, Suwasono. (1996). Prinsip-prinsip Dasar Ekologi: Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Kantor MNLH. (1998). Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kormondy, E. J. (1965). Readings in Ecology. Englewood Cloiffs. Prentice Hall, inc.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • Lee, Richard. (1990). Hidrologi Hutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Miller, G. Tyler, Jr. (1982). Living the Environment. International Group, Inc.
  • Nybakken J.W. (1988), Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia.
  • Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. London: W.B. Saunders Company.
  • Odum, E.P. (1993). Fundamentals of Ecology, 3rd Edition, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Suyud dan Subagja. (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Yayasan Studi Kurikulum Biologi. (1981). Biologi Umum 1, Jakarta: Gramedia.
  • Whittaker, R. H. (1970). Communities and Ecosystems. New York: Macmillan Company.


MODUL 4
Sifat Parameter dan Pertumbuhan Populasi
Kegiatan Belajar 1: Parameter Populasi
Rangkuman

Populasi yang didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari spesies yang sama (atau kelompok-kelompok lain di mana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menempati ruang dan atau waktu tertentu, memiliki berbagai ciri/sifat maupun parameter yang unik dari kelompok dan sudah tidak merupakan sifat dari masing-masing individu pembentuknya. Sifat-sifat tersebut, antara lain kepadatan, natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik, dispersi, bentuk, dan perkembangan.
Khusus mengenai distribusi umur individu dalam suatu populasi merupakan sifat penting karena secara langsung dan tak langsung dapat mempengaruhi laju mortalitas maupun laju natalitas. Secara umum, pembagian umur dikelompokkan menjadi, 3 yaitu prereproduktif, reproduktif, dan postreproduktif. Perbandingan penyebaran golongan umur dalam populasi dapat menentukan keadaan arah reproduktif yang berlangsung dalam populasi, dan sekaligus dapat dipakai untuk memperkirakan keadaan populasi di masa mendatang.
Kegiatan Belajar 2: Pertumbuhan Populasi
Rangkuman

Populasi memiliki pola-pola pertumbuhan khas yang disebut sebagai bentuk pertumbuhan populasi. Untuk keperluan perbandingan dapat diajukan dua pola dasar yang berdasarkan pada gambar aritmatik berbentuk kurva pertumbuhan, seperti kurva pertumbuhan J dan kurva pertumbuhan berbentuk S. Tipe-tipe yang berbeda ini dapat digabungkan atau diubah dalam berbagai cara menurut kekhususan berbagai organisme dan lingkungan.
Adanya kurva pertumbuhan ini sekaligus juga menunjukkan adanya fluktuasi dalam pertumbuhan populasi. Beberapa faktor pembatas fisik dapat bertindak sebagai pemacu adanya fluktuasi pertumbuhan populasi sehingga akan mendorong populasi cenderung berfluktuasi di atas atau di bawah daya dukung. Dengan adanya fluktuasi terjadilah keseimbangan baru meskipun dalam waktu-waktu tertentu saja, seperti populasi musiman dan populasi tahunan.
Kegiatan Belajar 3: Daya Dukung Lingkungan
Rangkuman

Daya dukung (carrying capacity) lingkungan adalah kemampuan lingkungan atau suatu ekosistem untuk dapat mendukung perikehidupan sejumlah makhluk hidup dan dengan segala aktivitasnya, dengan tanpa harus terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungannya.
Empat faktor yang saling mempengaruhi daya dukung suatu ekosistem meliputi; ketersediaan bahan/material, ketersediaan energi, akumulasi produk limbah dan tempat pembuangan akhir sampah, serta faktor interaksi di antara organisme-organisme.
Faktor batas minimum atau maksimum yang dapat menopang perikehidupan suatu ekosistem dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan ekosistem dalam menghadapi masalahnya.
Seberapa besar pencemaran udara maksimum yang dapat ditoleransi lingkungan, seberapa besar ketersediaan (supply) air tanah minimum yang dapat menopang perikehidupan suatu ekosistem perkotaan. Demikian pula faktor teknologi yang dapat dilibatkan untuk membantu mengatasi persoalan ekosistem, misalnya seberapa besar kemampuan teknologi pengolah limbah yang tersedia untuk dapat mengelola limbah yang dihasilkan oleh ekosistem perkotaan.
Faktor kepadatan dan pertumbuhan populasi spesies, misalnya jumlah penduduk dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai persoalan dalam menetapkan kebijakan pembangunan di berbagai bidang.
Kegiatan Belajar 4: Penyebaran Individu, Isolasi, Terisolasi, dan Daerah Jelajah
Rangkuman

Setiap populasi apabila telah mencapai tingkat kepadatan dan kerapatan tertentu dan dengan keterbatasan daya dukung lingkungan pula, akan cenderung mengalami penyebaran. Di tempat yang baru populasi akan menempati, beradaptasi, dan membentuk kembali keseimbangan yang baru. Dalam melakukan penyebaran, populasi cenderung membentuk kelompok-kelompok dari ukuran tertentu. Beberapa tipe penyebarannya adalah seragam, acak, dan acak berkelompok.
Berkaitan dengan keterbatasan daya dukung lingkungan, khususnya ketersediaan sumber daya makanan, ruang, dan lain-lain setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan daerah wilayahnya (teritori) dengan cara tetap berada pada wilayahnya masing-masing atau mengisolasikan diri. Pada hewan tingkat tinggi, isolasi umumnya dilakukan dengan membatasi daerah tempat kehidupannya dengan daerah pengembaraan (home range).
Daftar Pustaka
  • Blackman, F. F. (1985). Optima and Limiting Factors, Annals of Botany. London: Oxford University Press.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co. Inc.
  • Clarke, G. L. (1965). Elements of Ecology. Published by John Wiley & Sons, Inc.
  • Cole, L. C. (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven: Yale University Press.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation, 2nd. Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Ditjen Dikti Depdiknas. (1998) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir. Buku Panduan Pelatihan Untuk Pelatih Pengelola Wilayah Pesisir.
  • Djajadiningrat, Surna T. (2001). Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studio Tekno Ekonomi ITB-Bandung.
  • Enger. (1983). Environmental Science, the Study of Interrelationships. Wm. C. Brown Company Publisher. Dubuque. 1983.
  • Hairston, N. G. et al. (1960). Community Structure, Population Control and Competition. New York: Reinhold Publishing Co.
  • Heddy S. (1996), Prinsip-prinsip Dasar Ekologi: Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Kantor MNLH. (1998). Dasar Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Miller, G. Tyler. (2002). Sustaining the Earth, An Integrated approach. 5th Edition 2002
  • Odum, Eugene P. (1971), Fundamentals of Ecology, 3rd Ed. Philadelphia: W.B. Saunders.
  • Prawirohartono S.; Nawangsari S., dan Sutarmi S. (1988). Buku Pelajaran SMA : Biologi. Jakarta: Erlangga.
  • Suyud dan Subagja. (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Timbergen N. (1979). Perilaku Binatang. Jakarta: Pustaka Time-Life.


MODUL 5
Perkembangan Ekosistem
Kegiatan Belajar 1: Perkembangan Ekosistem
Rangkuman

Secara alamiah suatu komunitas yang berada dalam ekosistem selalu mengalami perubahan baik pada tingkat kepadatan komunitas penyusunnya maupun pada aspek fisik pembatas yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya.
Perkembangan ekosistem (suksesi ekologi) selalu dimulai dari struktur yang paling sederhana, yaitu individu, populasi, kemudian komunitas sehingga sampai kepada terbentuknya ekosistem yang mantap. Proses penyusunan ekosistem yang stabil umumnya dibangun dalam kurun waktu yang cukup lama.
Suksesi ekologi atau perkembangan ekosistem digambarkan dengan tiga parameter berikut.
  1. Perkembangan komunitas yang melibatkan perubahan struktur spesies dan proses-proses dalam komunitas yang terkait dengan waktu dan arah perkembangan.
  2. Modifikasi lingkungan fisik, pengaturan komunitas dan penentuan pola kecepatan perubahan serta membatasi sampai di mana komunitas tersebut dapat berkembang.
  3. Akhirnya sampai pada puncak ekosistem di mana biomassa maksimum dan fungsi simbiose dapat dipertahankan.
Perkembangan ekosistem selalu dimulai pada tingkat paling bawah; yaitu tingkat perkembangan spesies di mana spesies harus mampu berkembang dan berupaya meningkatkan daya adaptasinya terhadap keterbatasan sumber daya alam yang ada dan pengaruh faktor-faktor pembatas lainnya, setelah itu diikuti dengan perkembangan komunitas. Kegiatan Belajar 2: Bioenergetik Perkembangan
Rangkuman

Setiap ekosistem dalam suatu wilayah selalu mengalami perkembangan menuju ke arah keseimbangan. Perkembangan ekosistem tersebut tergantung dari pola-pola dan perkembangan komunitas yang ada di dalamnya. Secara umum perkembangan ekosistem yang dikenal dengan suksesi ekologi ini, dapat melalui beberapa tahapan-tahapan perkembangan yang disebut sere. Tiap-tiap sere memberikan ciri-ciri khas tersendiri tergantung dari jenis-jenis dominan yang ada dan faktor pembatas fisiknya.
Suksesi tidak hanya berlaku pada ekosistem alami saja, melainkan juga pada organisme hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Bahkan dinyatakan bahwa baik ekosistem primer, sekunder, flora, dan fauna dari daerah sekitar merupakan faktor utama yang memberi pengaruh terhadap tipe-tipe pertumbuhan tumbuhan dan hewan yang mengalami suksesi baik melalui persebaran maupun migrasi.
Terdapat tiga hal pokok yang saling terkait dan ikut mempengaruhi lajunya perkembangan ekosistem, yakni ketersediaan sumber daya, faktor pembatas fisik, dan kemampuan organisme. Khusus mengenai ketersediaan sumber daya, dalam hal ini makanan/energi diberikan penekanan tersendiri karena dapat mengarah pada kesempatan kenaikan biomassa.
Apabila laju total fotosintesis lebih besar dari laju total respirasi maka dapat memungkinkan kesempatan kenaikan biomassa, dan ini disebut suksesi autotropik. Sebaliknya apabila laju total fotosintesis lebih kecil dari laju total respirasi maka hanya akan memanfaatkan energi yang sudah ada dengan pembentukan relung-relung ekologi yang baru, dan ini disebut suksesi heterotropik.
Suksesi, pada tingkat perkembangan akhir akan terbentuk puncak di mana terdapat keseimbangan ekologi biomassa maksimum dengan pola-pola simbiose yang berlangsung di dalamnya berjalan secara alami pula. Jadi, perkembangan ekosistem tidak pernah merupakan hasil perkembangan yang terjadi begitu saja, dalam arti terjadi langsung keseimbangan ekologi pada suatu kawasan yang baru terbentuk. Dibutuhkan satuan waktu tertentu bagi organisme yang mempunyai kemampuan adaptasi untuk dapat mencapai suatu tatanan keseimbangan ekologi.
Perkembangan ekosistem menuju klimaks ekologi ataupun keseimbangan ekosistem, selalu diikuti dengan perkembangan berupa perubahan-perubahan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan tata kehidupan organisme yang ada di dalam ekosistem tersebut. Adanya kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan dalam perkembangan ekosistem disebabkan karena adanya persesuaian atau adaptasi dari organisme yang ada di dalamnya terhadap lingkungan fisik dan biotik setempat. Hanya organisme yang mampu beradaptasi (mampu melakukan kompensasi terhadap faktor pembatas fisik lingkungannya) yang dapat terus bertahan hidup meskipun harus "menciptakan" suatu relung ekologi tersendiri.
Kegiatan Belajar 3: Konsep Klimaks
Rangkuman

Setelah melalui beberapa tahapan perkembangan ekosistem atau sere, suatu ekosistem dapat mencapai tahapan akhir atau klimaks atau dapat pula dianggap sebagai puncak perkembangan ekosistem. Salah satu ciri pada komunitas klimaks, yaitu dengan tidak terdapatnya penumpukan zat organik neto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan komunitas seimbang dengan konsumsi tahunan.
Banyak ahli berpendapat bahwa iklim klimaks pada suatu wilayah belum tentu dapat dicapai karena komunitas yang sudah "mantap" sekalipun karena masih juga menunjukkan adanya perubahan, penyesuaian, dan pembusukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa perubahan suatu komunitas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut telah dipakai kesepakatan bahwa hampir tidak mungkin pada suatu wilayah mencapai iklim klimak sehingga iklim klimaks tunggal merupakan komunitas teoretis yang dituju semua suksesi dalam perkembangan pada suatu daerah, asalkan keadaan lingkungan fisik secara umum tidak terlalu ekstrim sehingga mampu mempengaruhi iklim lingkungan.
Umumnya suksesi berakhir pada klimaks edaphic, dengan hanya terkait pada masing-masing pengaruh faktor pembatas fisik pada wilayah setempat. Meskipun suksesi pada suatu ekosistem untuk dapat mencapai klimaks membutuhkan waktu yang tidak sebentar, namun cepat-lambatnya masih tergantung pula oleh tingkatan suksesi yang terjadi kepadanya. Secara umum terdapat dua macam ekosistem suksesi, yaitu ekosistem suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder. Ekosistem suksesi primer lebih dinyatakan pada berkembangnya ekosistem tersebut melalui substrat yang baru. Artinya kehidupan yang ada pada ekosistem tersebut setelah perlakuan benar-benar dimulai dari nol, dan harus dimulai dari kerja organisme pionir dengan segala perlakuan dari faktor pembatas fisik yang ada. Sedangkan ekosistem suksesi sekunder berkembang setelah ekosistem alami rusak total, tetapi dimulai dengan tidak terbentuk substrat yang baru, atau dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan baru setelah adanya "gangguan" pada ekosistem alami.
Daftar Pustaka
  • Begon, M., J.L. Harper & C.R. Townsend. (1986). Ecology. Individuals, Populations, and Communities. Oxford: Blackwell Sci. Pub.
  • Blackman, F. F. (1985). Optima and Limiting Factors, Annals of Botany. London: Oxford University Press.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co. Inc.
  • Clarke, G. L. (1965). Elements of Ecology. Published by John Wiley & Sons Inc.
  • Cole, L. C. (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven: Yale University Press.
  • Chang, J.H. (1968). Climate and Agriculture: An Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Co.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation, 2nd. Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Djajadiningrat, Surna T. (2001). Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Bandung: Penerbit Studio Tekno Ekonomi ITB.
  • Hairston, N. G., et al. (1960). Community Structure, Population Control and Competition. New York: Reinhold Publishing Co.
  • Heddy, Suwasono. (1996). Prinsip-prinsip dasar Ekologi: Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Kantor MNLH, (1998). Dasar Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kormondy, E. J. (1965). Readings in Ecology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Miller, D. H. (1985). The Heat and Water Budget of the Earth's Surface. Adv. in Geophysics, 11, 175-302.
  • Odum, E.P. (1993) Fundamentals of Ecology, 3rd Edition, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Perman, Roger. et al. (2003). Natural Resources and Environmental Economics. Third Edition. London: Pearson Addison Wesley.
  • Russell-Hunter, W. D. (1980). Aquatic Productivity. New York: Macmillan Company.
  • Smith, R.L. (1974). Ecology and Field Biology. 2nd Ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Satake, Yoshisuke. (1979). Tetumbuhan. Jakarta: Pustaka Time-Life.
  • Suyud dan Subagja (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Weyl, P. K. (1980). Oceanography: An Introduction to the Marine Environment. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Whittaker, R. H. (1970). Communities and Ecosystems. New York: Macmillan Company.
  • Winatasasmita D, dan Sukarno. (1995). Biologi 1 untuk Sekolah Menengah Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Yayasan Studi Kurikulum Biologi. (1981). Biologi Umum 1. Jakarta: Gramedia.


MODUL 6
Ekosistem Pesisir Alami
Kegiatan Belajar 1: Ekosistem Hutan Mangrove
Rangkuman

Selain mempunyai fungsi ekologi dan ekonomi yang tinggi, fungsi lain dari wilayah pesisir adalah sebagai pelabuhan untuk transportasi laut, kawasan industri perikanan, agribisnis dan agroindustri, sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, serta kawasan permukiman.
Ekosistem pesisir alami memiliki fungsi ekologis utama sebagai tempat memijah ikan sebelum ikan menjadi besar dan berenang ke tengah laut. Fungsi ekologis lainnya bahwa pesisir yang memiliki tumbuhan besar berfungsi sebagai penahan debur ombak laut agar tidak terjadi pengikisan pantai ataupun mencegah terjadinya pengecilan daratan kepulauan.
Fungsi Ekologis Hutan Mangrove adalah penghasil bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik, sebagai daerah pembiakan bagi berbagai hewan akuatik terutama ikan dan udang, memberikan bermacam-macam relung tempat perlindungan hewan laut, melindungi pantai dari pengaruh pengikisan pantai oleh ombak laut dan badai, menangkap sedimen yang datang dari daratan; menyaring bahan-bahan pencemar dan unsur hara yang dapat masuk ke wilayah dekat pantai, serta berfungsi sebagai penyangga bagi hutan rawa yang tidak toleran dengan kondisi air asin.
Kegiatan Belajar 2: Terumbu Karang
Rangkuman

Terumbu Karang (coral reef) adalah ekosistem perairan dangkal tropika dengan komunitas berbagai jenis biota laut yang secara kolektif membentuk substrat padat dalam bentukan kapur.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting bagi pertumbuhan ikan di laut. Fungsi ekologis dari terumbu karang adalah sebagai habitat beberapa jenis ikan, sedangkan fungsi ekonomisnya adalah pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ikan di ekosistem ini.
Penyangga utama dari pertumbuhan terumbu karang adalah karang hermatypic (Ordo Scleractina) dan algae corraline. Unit dasar dari pertumbuhan terumbu ini adalah karang polip dan mikroorganisme yang bersimbiose nonmotiledinoflagellates (zooxanthellae) yang hidup di dalam jaringan karang.
Terumbu karang memiliki ciri fungsional yang rumit, berupa interaksi yang rumit antara subsistem fisik dan biologis. Terumbu karang memiliki hubungan fungsional dengan komunitas hutan mangrove dan padang lamun di dekatnya. Misalnya terumbu karang berfungsi sebagai pemecah ombak yang dapat memulihkan dirinya, yang membuat energi ombak menjadi lemah ketika mencapai tepi pantai sehingga hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik. Erosi rangka karang (yang disebabkan oleh badai atau binatang) menghasilkan sedimen kapur dalam jumlah besar yang menjadi hara bermanfaat bagi komunitas mangrove dan padang lamun.
Kerusakan terumbu karang dapat terjadi karena adanya pencemaran, sedimentasi, peningkatan hara, perubahan salinitas, pengaruh panas, penangkapan ikan dengan alat peledak, pukat harimau, jangkar, dan naiknya suhu permukaan laut, dan lain sebagainya.
Kegiatan Belajar 3: Padang Lamun
Rangkuman

Padang Lamun adalah hamparan vegetasi berbentuk rumput yang umumnya terdapat pada laut dangkal dekat pantai. Fungsinya adalah sebagai habitat ikan-ikan kecil yang setelah besar ikan tersebut berpindah ke tengah laut yang lebih dalam. Ekosistem Padang Lamun memberikan sumber makanan yang produktif bagi ikan-ikan di laut. Karena ekosistem padang lamun berada dekat dengan pantai, tentunya tekanan utama terhadap ekosistem ini datang dari segala hasil kegiatan manusia di pantai. Eutrofikasi dengan nutrien nitrogen dan fosfat dapat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan algae dan tanaman lamun, tetapi tidak mengganggu keseimbangan organisme yang ada. Eutrofikasi yang bersumber dari unsur hara di darat, seperti air kotor, minyak, detergen, pupuk dan limbah tambak dapat menimbulkan peledakan epifita lamun dan mengurangi tembusnya cahaya ke tumbuhan tersebut. Hilangnya tumbuhan lamun mengarah kepada erosi lokal, meningkatkan gerakan ombak di dasar laut dan kekeruhan air laut yang berdampak pada kekurangan cahaya untuk vegetasi lamun.
Dua masalah utama dalam pengelolaan padang lamun di Indonesia adalah masalah distribusi lahan pertumbuhan vegetasi dan tingkat eksploitasi sumber daya padang lamun. Masalah distribusi, yaitu hamparan ekosistem padang lamun tidak selalu terdapat di sembarang tempat di laut dangkal, tetapi hanya bisa tumbuh di tempat-tempat tertentu sehingga sulit dilakukan pengelolaannya. Eksploitasi padang lamun biasanya dilakukan oleh masyarakat kecil dan tersebar di mana-mana sehingga sulit dilakukan pengelolaan secara baik untuk kepentingan ekosistem laut secara keseluruhan.
Kegiatan Belajar 4: Muara dan Pantai
Rangkuman


Daftar Pustaka
  • Begon, M., J.L. Harper & C.R. Townsend. (1986). Ecology. Individuals, Populations and Communities. Oxford: Blackwell Sci. Pub.
  • Clapham, W.B. 1973. Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co., Inc.
  • Blackman, F. F. (1985). Optima and Limiting Factors, Annals of Botany. London: Oxford University Press.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • Charter, R.W.G. (1988). Coastal Environment: An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural System of Coastline. Academic Press.
  • Cole, L. C. (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven: Yale University Press.
  • Dahuri, Rokhmin, dkk. (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Cetakan Edisi Revisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation, 2nd. Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Djajadiningrat, Surna T. (2001). Pemikiran Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Bandung: Penerbit Studio Tekno Ekonomi ITB.
  • Ditjen Dikti Depdiknas. (1998) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir. Buku Panduan Pelatihan Untuk Pelatih Pengelola Wilayah Pesisir.
  • Engel, Leonard. (1984). Laut, Pustaka Alam Life. Edisi Kedua. Jakarta: Tira Pustaka.
  • Goltman and Clymo. (1976). Chemical Environment in the Aquatic Habitat. Amsterdam: N.V. Noord-Hollandsche Witgevers Maaschappij.
  • Intergovernmental Panel on Climate Change. (1994). Preparing to meet the Coastal Challenges of the 21st Century. Conference Report of Word Coast Conference 1993. Nooedwijk: The Netherlands, 1-5 November 1993.
  • Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Dalam Negeri dan Yayasan Mangrove. (1993). Usulan Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Jakarta.
  • Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993). Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 1991. Jakarta: KLH RI.
  • Kantor MNLH, (1998). Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kormondy, E. J. (1965). Readings in Ecology. Englewood Cloiffs: Prentice-Hall, Inc.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Miller, D. H. (1985). The Heat and Water Budget of the Earth's Surface. Adv. in Geophysics, 11, 175-302.
  • Perman, Roger. Et. Al. (2003). Natural Resources and Environmental Economics. Third Edition. London: Pearson Addison Wesley.
  • Russell-Hunter, W. D. (1980). Aquatic Productivity. New York: Macmillan Company.
  • Smith, R.L.1974. Ecology and Field Biology, 2nd Ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Suyud dan Subagja (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Weyl, P. K. (1980). Oceanography: An Introduction to the Marine Environment. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Whittaker, R. H. (1970). Communities and Ecosystems. New York: Macmillan Company.


MODUL 7
Keanekaragaman Hayati
Kegiatan Belajar 1: Keanekaragaman Ekosistem
Rangkuman

Sejarah geologi pembentukan daratan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia serta variasi iklim dari bagian barat yang lembab sampai bagian timur yang kering ikut mempengaruhi pembentukan ekosistem dan distribusi satwa dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Hasil proses ini tercermin dalam keragaman ekosistem, satwa, dan tumbuhan yang terdapat di wilayahnya.
Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri atas sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Keanekaragaman ekosistem dapat kita perhatikan pada ekosistem perairan. Dari perbedaan ekosistem perairan tersebut kita dapat melihat keanekaragaman makhluk hidup yang ada di dalamnya. Ikan di danau berbeda bentuk fisik dan jenisnya dengan ikan yang terdapat di sungai. Ikan di sungai bentuknya condong lebih pipih dan panjang dibanding ikan di danau. Hal ini terjadi karena ikan di sungai harus berusaha melawan derasnya arus air sungai dalam mempertahankan kehidupannya.
Kawasan tropis umumnya memiliki tingkat keanekaan lebih tinggi dibanding kawasan lain. Kawasan tropis sangat penting bagi konservasi keanekaragaman hayati karena wilayah ini merupakan pusat endemisme. Salah satu ciri kawasan tropis adalah keanekaragaman spesies lebih tinggi dengan jumlah individu dalam suatu populasi spesies biasanya rendah.
Kegiatan Belajar 2: Keanekaragaman Spesies
Rangkuman

Keanekaragaman spesies tumbuhan maupun satwa dapat ditelusuri melalui keanekaragaman spesies organisme yang menempati suatu ekosistem, baik di darat maupun di perairan. Setiap spesies dari suatu organisme mempunyai ciri yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Apabila suatu lingkungan terdapat bermacam jenis dan spesies makhluk hidup maka alternatif pemanfaatan sumber daya oleh organisme hidup termasuk manusia semakin besar.
Makna hakiki dari keberadaan keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem adalah semakin beragam suatu spesies komponen hayati suatu lingkungan maka semakin tinggi tingkat kestabilan ekosistem tersebut.
Kegiatan Belajar 3: Keanekaragaman Genetik
Rangkuman

Keanekaragaman genetik adalah keanekaragaman individu di dalam spesies yang disebabkan oleh perbedaan genetik antara individu-individu. Gen adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki suatu organisme yang dapat diwariskan. Individu di dalam suatu spesies membawa gen yang berbeda dengan individu lain, perbedaan ini tampak pada fisik satwa dan tumbuhan.
Keanekaragaman spesies dan keanekaragaman ekosistem yang tinggi pada suatu ekosistem akan memperkuat kestabilan ekosistem tersebut.
Peran dan fungsi keanekaragaman hayati dalam suatu ekosistem antara lain sebagai sistem pembentuk lingkungan hidup, sistem penyangga kehidupan, dan kesejahteraan manusia, untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan tercapainya pemenuhan kebutuhan manusia melalui proses pengawetan sumber plasma nutfah.
Kegiatan Belajar 4: Indeks Keanekaragaman Hayati
Rangkuman

Indeks keanekaragaman hayati dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam menentukan kualitas suatu ekosistem.
Kualitas ekosistem dimungkinkan dapat diperoleh dengan cara pendataan dan menganalisis data yang terdapat di lingkungan tersebut. Misalnya, berbagai jenis biota bentik atau bakteri (Escherichia coli) yang terdapat dalam suatu ekosistem perairan dapat digunakan sebagai petunjuk adanya pencemaran perairan atau penurunan kualitas lingkungan.
Kondisi biota yang akan dijadikan sampel penelitian hendaknya memiliki ciri-ciri, yaitu memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, memiliki daur hidup yang kompleks sepanjang waktu, hidup sesil, dan tidak mudah melakukan migrasi. Selain itu, untuk mengetahui atau mempelajari keanekaragaman hayati/biota perairan dapat dilakukan berdasarkan jenis-jenis plankton, perifiton, nekton, dan bentos yang ada di ekosistemnya.
Keanekaragaman hayati juga dapat diketahui melalui jenis dan jumlah jenis, strain, kepadatan, sebaran, dan habitat. Nilai keanekaragaman ditentukan oleh jumlah takson yang berbeda dan regularitas penyebaran individu dalam suatu kategori yang sistematis.
Daftar Pustaka
  • Bappenas. (2003). Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020. Penerbit Bappenas 2003.
  • Begon, M.; J.L. Harper & C.R. Townsend. (1986). Ecology. Individuals, Populations and Communities. Oxford: Blackwell Sci. Pub.
  • Blackman, F. F. (1985). Optima and Limiting Factors, Annals of Botany. London: Oxford University Press.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Eiosystem. New York: McMillan Publishing Co. Inc.
  • Clarke, G. L. (1965). Elements of Ecology. Published by John Wiley & Sons, Inc.
  • Cole, L. C. (1970). Playing Russian Roulette with Biochemical Cycles. New Haven: Yale University Press.
  • Chang, J.H. (1968). Climate and Agriculture: An Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Co.
  • Chiras, Daniel, D. (1988). Environmental Science; A Framework for Decision Making. Second Edition. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation, 2nd. Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Hairston, N. G. et al. (1960). Community Structure, Population Control and Competition. New York: Reinhold Publishing Co.
  • Kantor MNLH. (1998). Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dDalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Lingkungan Hidup. (2000). Perkembangan Kependudukan dan Pengelolaan sumber Daya Alam. Alih Bahasa: Mohamad Soeryani, Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan 2000.
  • Kormondy, E. J. (1965). Readings in Ecology. Englewood Cloiffs. Prentice-Hall, Inc.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Miller, D. H. (1985). The Heat and Water Budget of the Earth's Surface. Adv. in Geophysics, 11, 175-302.
  • Nontji, Anugerah. (1993). Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Penerbit Djambatan.
  • Odum, Eugene P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Russell-Hunter, W. D. (1980). Aquatic Productivity. New York: Macmillan Company.
  • Smith, R.L. (1974). Ecology and Field Biology, 2nd. Ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Soemarwoto, Otto. (1991). Ekologi Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Panitia Penghormatan Purnabakti Professor Otto Soemarwoto, Bandung 1991.
  • Soerjani, Mohamad. (2000). Kepedulian Masa Depan, Agenda Radikal menuju Perubahan Positif. LPFE-UI 2000.
  • Suyud dan Subagja. (2001). Ekologi. Buku Materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Weyl, P. K. (1980). Oceanography: An Introduction to the Marine Environment. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Whittaker, R. H. (1970). Communities and Ecosystems. New York: Macmillan Company.


MODUL 8
Dampak Lingkungan dan Pencemaran
Kegiatan Belajar 1: Pencemaran Ekosistem Laut
Rangkuman

Dampak lingkungan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan kehidupan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan yang umumnya dilakukan oleh manusia. Pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam suatu lingkungan oleh akibat kegiatan manusia sehingga kualitas lingkungan tersebut sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran pada ekosistem laut pada dasarnya bersumber dari dampak berbagai kegiatan manusia di darat dan di laut. Hampir semua jenis kegiatan manusia di darat dapat memberikan dampak pencemaran ke dalam ekosistem laut, dampaknya adalah menurunnya kualitas ekosistem laut. Menurunnya kualitas ekosistem laut tentunya juga berakibat menurunnya kualitas komponen lingkungan yang ada di dalamnya.
Kegiatan pertanian di darat, misalnya dapat menimbulkan gangguan pada kualitas ekosistem laut akibat penggunaan bahan-bahan kimia, seperti pestisida, pupuk, dan lain-lain yang berlebihan di sawah, kemudian dihanyutkan ke sungai dan terus ke laut. Demikian pula dengan kegiatan permukiman manusia di darat dan di atas permukaan laut atau di pinggir laut dapat menimbulkan pencemaran pada kualitas laut. Prosesnya adalah limbah cair yang ke luar dari rumah tangga mengalir melalui selokan, kemudian mengalir menuju anak sungai, sungai besar, dan seterusnya menuju laut.
Dampak pencemaran yang terjadi pada ekosistem laut akan berlanjut pada kesehatan manusia melalui proses rantai makanan dan dapat pula merusak estetika lingkungan.
Kegiatan Belajar 2: Pencemaran Udara
Rangkuman

Pencemaran udara umumnya diberi batasan sebagai udara yang mengandung suatu atau lebih zat kimia dalam konsentrasi cukup tinggi untuk dapat mengakibatkan timbulnya gangguan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan harta benda.
Pencemaran udara pada dasarnya bersumber dari sumber bergerak (mobile resources), seperti asap buangan dari aktivitas penggunaan kendaraan bermotor dan dari sumber tak bergerak (stationary resources), seperti aktivitas kegiatan industri, rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain-lain.
Kontribusi pencemar udara di kota-kota besar umumnya bersumber dari aktivitas kegiatan kendaraan bermotor yang mencapai 60~70%, sedangkan sisanya bersumber dari aktivitas berbagai jenis industri dan rumah tangga.
Parameter pencemar yang ke luar dari penggunaan kendaraan bermotor antara lain adalah karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), nitrogen dioksida (NO2), timah hitam (Pb), dan kebisingan, sedangkan yang bersumber dari kegiatan industri umumnya berupa oksida belerang (SO2), debu, dan kebisingan.
Kegiatan Belajar 3: Pencemaran Air
Rangkuman

Sumber pencemar air dapat berasal dari faktor alam dan faktor manusia, kenyataan menunjukkan bahwa faktor manusia lebih dominan memberikan pencemaran terhadap air dibandingkan faktor alam. Pencemaran oleh faktor kegiatan alam, meliputi peningkatan zat padat tersuspensi karena erosi, akibat banjir, dan akibat intrusi air laut. Sedangkan sumber pencemar air yang ditimbulkan oleh faktor kegiatan manusia meliputi pencemar dari kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, kegiatan pemanfaatan hutan, kegiatan penambangan, dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa golongan parameter pencemar air yaitu parameter fisika, kimia, bakteri, serta radioaktivitas. Parameter fisika terdiri atas: suhu, warna, bau, rasa, kekeruhan, dan zat padat tersuspensi. Parameter kimia terdiri atas: pH, zat organik termasuk minyak, zat anorganik (Pb dan Cd) dan bukan logam berat (nitrat sulfat).
Parameter bakteriologi, meliputi bakteri coliform, bakteri parasitik, dan bakteri patogenik. Penyebaran bahan pencemar di air sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus pada badan air, berat jenis bahan pencemar, sifat-sifat bahan pencemar, dan kondisi kualitas badan air.
Bahan organik berasal dari rantai karbon (C) keberadaannya dalam air dinyatakan dengan angka BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan angka COD (Chemical Oxygen Demand).
Sumber pencemar air berasal dari beberapa kegiatan, seperti kegiatan rumah tangga, industri, pertanian dan peternakan, kehutanan, perdagangan, dan kegiatan di fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya.
Kegiatan Belajar 4: Pencemaran Tanah
Rangkuman

Pencemaran tanah disebabkan oleh karena masuknya bahan-bahan pencemar berbentuk padat dan cair ke dalam tanah yang bahan-bahan ini bukan merupakan bagian dari komponen tanah asli. Pencemaran tanah dapat pula terjadi akibat proses eksploitasi tanah, seperti yang terjadi pada proses penambangan timah, emas, batubara, dan lain sebagainya.
Perbedaan kualitas tanah di antara berbagai lahan pada umumnya dinilai dari kondisi lapisan humus hasil pelapukan dan pembusukan sisa-sisa tanaman di bagian permukaan tanah (top soil). Semakin beragam organisme hidup yang terdapat di permukaan tanah maka semakin berkualitas tanah tersebut.
Sumber pencemar tanah dapat dikategorikan dalam bentuk materi buatan atau polimer, seperti plastik, pupuk, pestisida, dan insektisida yang penggunaannya berlebihan. Bahan-bahan tersebut dapat mengubah dan mengganggu tata kehidupan biota di tanah.
Pencemaran dari permukiman bersumber dari pembuangan kaleng-kaleng bekas, batu baterai bekas, sisa-sisa bungkus plastik, sisa-sisa bekas bangunan, sisa-sisa makanan, sisa-sisa perabotan rumah tangga yang dibuang di permukaan tanah.
Pencemaran tanah oleh akibat kegiatan pertambangan terjadi dalam bentuk perusakan struktur permukaan tanah, bentang tanah menjadi berlekuk, berlubang, bertebing terjal, dan merusak estetika lingkungan. Selanjutnya struktur permukaan tanah yang berlekuk atau berlubang tersebut akan mempengaruhi proses hidrologis air baik di musim penghujan maupun pada musim kemarau.
Daftar Pustaka
  • Adel, U. (1996). Pengendalian Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Himpunan Bidang Perkotaan dan Lingkungan Vol II Edisi 1995/1996.
  • Azwar A. (1993). Pengantar Ilmu Kesehatan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
  • Bappenas. (2003). Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020. Penerbit Bappenas 2003.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • BPLHD DKI Jakarta. (2002). Data Storet Pemantauan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co., Inc.
  • Chang, J.H. (1968). Climate and Agriculture: An Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Co.
  • Chiras, Daniel, D. (1988). Environmental Science; A Framework for Decision Making. California: Second Edition. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation. 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor. (2002). Status Lingkungan Hidup Daerah Bogor 2002.
  • Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang. (2003). Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tangerang 2003.
  • Fahmi, Umar. (1997). Dampak Pencemaran Udara terhadap Kesehatan Manusia. PPSML-UI.
  • Kantor MNLH. (1998). Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Lingkungan Hidup. (2000). Perkembangan Kependudukan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Alih Bahasa : Mohamad Soeryani, Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan 2000.
  • Kormondy, E. J. (1965). Readings in Ecology. Englewood Cloiffs. Prentice-Hall, inc.
  • Kormondy, E. J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • Kusnoputranto, H. (2004). Dampak pada Kualitas Udara. Makalah pada Pelatihan Dasar-dasar AMDAL. PPSML-UI 2004.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Nontji, Anugerah. (1993). Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Penerbit Djambatan.
  • Odum, Eugene P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia. (2003). Himpunan Peraturan Tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta: UI Press.
  • Smith, R.L. (1974). Ecology and Field Biology. 2nd Ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Soemarwoto, Otto. (1991). Ekologi dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Panitia Penghormatan Purnabakti Professor Otto Soemarwoto, Bandung 1991.
  • Soerjani, Mohamad. (2000). Kepedulian Masa Depan, Agenda Radikal Menuju Perubahan Positif. LPFE-UI 2000.
  • Suyud dan Subagja. (2001). Ekologi. Buku Materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.


MODUL 9
Pengelolaan Lingkungan
Kegiatan Belajar 1: Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir
Rangkuman

Pengelolaan wilayah pesisir adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi wilayah pesisir yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup di wilayah pesisir.
Konsepsi pengelolaan lingkungan pesisir meliputi pengelolaan karakteristik sumber daya ekosistem pesisir yang terdapat di dalamnya. Karakteristik tersebut, yaitu wilayah pesisir merupakan wilayah pemasok kebutuhan manusia, kebutuhan biota ikan (karena terdapat hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang), lahan industri yang menguntungkan secara ekonomis sehingga memungkinkan timbulnya konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Setiap kegiatan masyarakat maupun kegiatan industri yang ada di wilayah pesisir pasti menimbulkan dampak negatif dan positif pada ekosistem pesisir dan laut sehingga diperlukan sistem pengelolaan yang terintegrasi satu sama lainnya.
Pembangunan sumber daya pesisir yang terintegrasi dan berkelanjutan harus memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor interaksi yang terdapat di dalamnya maupun faktor-faktor dari luar yang dapat berpengaruh terhadap ekosistem pesisir.
Kegiatan Belajar 2: Pengelolaan Dampak Pencemaran pada Air
Rangkuman

Berdasarkan atas siklus hidrologi maka air di bumi selalu dalam keadaan berpindah-pindah yang biasa disebut sebagai "siklus hidrologi". "Air" dari danau, sungai, permukaan tanah, dan dari laut akan menguap oleh pengaruh panas matahari, uap air yang terbentuk masuk ke dalam atmosfer bumi menjadi "awan". Awan di atmosfer bergerak akibat perbedaan tekanan panas dan membentur puncak gunung dan terjadi "hujan". Hujan turun membasahi permukaan bumi dan mengalir kembali ke dalam tanah, ke sungai, ke danau dan ke laut.
Ekosistem perairan sangat dipengaruhi oleh daerah pengalirannya seperti iklim, topografi, geologi, penggunaan lahan, dan aktivitas social yang terdapat di sekitarnya ikut menentukan kualitas dan kuantitas limbah yang mengalir ke dalamnya. Kondisi ini mempengaruhi kondisi fisik dan kimiawi badan air dan mempengaruhi pola kehidupan biota di dalamnya. Hubungan timbal balik antarorganisme biotik maupun abiotik yang terjadi di dalam ekosistem perairan ini berjalan sangat kompleks, dan ini dapat terlihat secara jelas dari jumlah dan jenis organisme atau biota yang ada di dalamnya. Dengan demikian, parameter pencemar air dapat dimonitor dari eksistensi biota dan abiotik yang terdapat di dalamnya.
Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi nilai BOD, partikel tercampur, dan menghilangkan organisme patogen. Di samping itu ada pula maksud pengolahan air limbah adalah untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan-bahan yang tidak dapat didegradasikan agar konsentrasinya dalam air menjadi lebih rendah.
Kegiatan Belajar 3: Pengelolaan Dampak Pencemaran pada Udara
Rangkuman

Komposisi udara di atmosfer bumi ini selalu berubah-ubah sesuai berlangsungnya proses fotosintesis dan respirasi aerobik yang dilakukan oleh organisme hidup. Saat ini komposisi udara diperkirakan terdiri dari 78% nitrogen (N2) dan 21% oksigen (O2) dalam volume, dan sisanya terdiri dari sejumlah kecil argon (Ar), karbondioksida (CO2), uap air (H2O), dan gas-gas lainnya.
Pencemar utama pada lingkungan udara, akhir-akhir ini meliputi berbagai jenis zat pencemar yang terdiri atas karbon oksida, seperti karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2), sulfur oksida, seperti sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3), nitrogen oksida, seperti nitrogen dioksida (SO2) dan oksida nitrogen (NOx), Hidrokarbon, seperti gas metan (CH4), butan (C4H10), benzen (C6H6), dan oksidan fotokimia, seperti ozon (O3), PAN (golongan peroxy acyl nitrates), partikulat, serta senyawa anorganik lainnya.
Pengendalian dampak pencemaran pada lingkungan udara dapat dilakukan dengan cara mengurangi bahkan menghilangkan semua sumber-sumber timbulnya zat pencemar yang akan terpapar ke lingkungan. Mengurangi sumber timbulnya zat pencemar ke udara dapat dilakukan dengan cara menelaah timbul atau lepasnya zat pencemar ke lingkungan.
Kegiatan Belajar 4: Pengelolaan Dampak Pencemaran pada Tanah
Rangkuman


Daya tahan lingkungan ditentukan oleh daya tahan komponen lingkungan masing-masing dan masalah komprehensif antarkomponen lingkungan. Manfaat lingkungan dan daya tahan lingkungan memiliki dua faktor, yaitu "pembawaan secara alamiah" dan "yang diperoleh dari hasil rekayasa manusia. Daya tahan lingkungan tanah dapat dibangkitkan oleh pengaruh interaksi antara sifat-sifat bawaan dan pengaruh teknologi. Masuknya faktor teknologi yang sama akan menghasilkan tingkat daya tahan yang berbeda pada lingkungan tanah yang berbeda sifat bawaannya. Untuk memperoleh daya tahan lingkungan tanah yang mencukupi maka tiap jenis lingkungan memerlukan suatu sistem pengelolaan yang berbeda pula. Perubahan-perubahan pada fungsi tanah disebabkan oleh akibat cara pengolahan tanah, perubahan tata aliran air dan hidrologi akibat pengambilan air dari sumber air, perubahan bentuk dan kontur permukaan tanah akibat pembabatan lereng bukit, pengirisan, pemancungan dan pengguguran bukit, pendataran, dan proses penimbunan cekungan permukaan tanah. Dampak yang akan timbul adalah perubahan keberadaan jumlah jenis dan spesies flora dan fauna di lahan tersebut.
Pengelolaan dampak dapat dilakukan dengan cara pengaturan tata ruang dan tata penggunaan lahan sesuai dengan fungsinya menurut ekosistemnya, mengatur dan mengendalikan interaksi antarkomponen dalam tanah dan lingkungannya menuju ke arah yang menguntungkan secara berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya, memperbaiki kualitas tanah (recovery) yang telah tercemar dengan cara memperkaya unsur hara atau nutrien bagi kepentingan mikroorganisme tanah dan membiarkan tumbuhan dapat hidup di tanah tersebut secara mandiri, dan mencegah intervensi manusia secara berlebihan terhadap suatu lingkungan yang merugikan tanah, serta menghilangkan segala gangguan terhadap tanah dan komponen-komponennya.
Daftar Pustaka
  • Bianpoen. (2004). Dampak pada Tanah, Lahan dan Tata Ruang. Makalah Pelatihan Penyusunan Dokumen Amdal PPSML-UI Desember 2004.
  • Boughey, A. S. (1968). Ecology of Populations. New York: The Macmillan Company.
  • BPLHD DKI Jakarta. (2002). Data Storet Pemantauan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002.
  • Clapham, W.B. (1973). Natural Ecosystem. New York: McMillan Publishing Co., Inc.
  • Chang, J.H. (1968). Climate and Agriculture: An Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Co.
  • Chiras, Daniel, D. (1988). Environmental Science; A Framework for Decision Making. California: Second Edition. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
  • Dasmann, R. F. (1968). Environmental Conservation, 2nd. Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor. (2002). Status Lingkungan Hidup Daerah Bogor-2002
  • Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang. (2003). Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tangerang-2003
  • Fahmi, Umar. (1997). Dampak Pencemaran Udara terhadap Kesehatan Manusia. PPSML - UI.
  • Kantor MNLH. (1998). Dasa Karya Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Penerbit Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
  • Kartawiria, Y. (2004). Dampak pada Ekosistem Perairan. Makalah Pelatihan Penyusunan Dokumen Amdal PPSML-UI Desember 2004.
  • Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Lingkungan Hidup. (2000). Perkembangan Kependudukan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Alih Bahasa: Mohamad Soeryani. Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan 2000.
  • Kormondy, E. J. (1965). Readings in Ecology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
  • Kormondy, E.J. (1969). Concepts of Ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
  • Kusnoputranto, H. (2004). Pendugaan dan Evaluasi Dampak pada Kualitas Udara dan Kebisingan. Makalah Pelatihan Penyusunan Dokumen Amdal PPSML-UI Desember 2004.
  • Kusnoputranto, H. (2004). Dampak pada Kualitas Udara. Makalah pada Pelatihan Dasar-Dasar AMDAL. PPSML-UI 2004.
  • MacArthur, R. H. and Connel, J. H. (1966). The Biology of Populations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
  • Margalef, R. (1968). Perspectives in Ecological Theory. Chicago: University of Chicago Press.
  • Nontji, Anugerah. (1993). Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan.
  • Odum, Eugene P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia. (2003). Himpunan Peraturan Tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta: UI Press.
  • Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia. (1999). Gerakan Penyelamat Kehidupan. Jakarta: PPSML-UI.
  • Smith, R.L. (1974). Ecology and Field Biology, 2nd.Ed. New York: Harper & Row, Pub.
  • Soemarwoto, Otto. (1991). Ekologi dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Bandung: Panitia Penghormatan Purnabakti Professor Otto Soemarwoto.
  • Soerjani, Mohamad. (2000). Kepedulian Masa Depan, Agenda Radikal menuju Perubahan Positif. LPFE-UI 2000.
  • Suyud dan Subagja. (2001). Ekologi. Buku materi Pokok. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  • Thayib, H. (2004). Dampak pada Tanah dan Struktur Bawah Permukaan serta Penggunaannya. Makalah Pelatihan Penyusunan Dokumen Amdal PPSML-UI Desember 2004.